PADA NUSA TENGGARA..
Mari berwarta
Untuk sebuah wana banyu samudera
Mari berwisata
Pada anggun kemilau letak wahana
Mari bercerita
Dari awal singgah hingga lelah pijak kaki
Mari bercinta
Demi harum dupa nir dewata
Mari bermain
Di pusaran angin seroja nyiur menggoda
Mari bercermin
Untuk tegar tatap sisi satu mata rupa
Mari berdendang
Lewat hembus tiup seringai singa
Mari bertemu
Di selasar pesisir pasir selancar
Mari bertamu
Untuk reda dahaga mata sejenak
Mari berbicara
Dari lembaran retina terasa sejuk sukma
Mari berbahasa
Dengan cita warna sudut nusa tenggara
SARA SU SITA
Ale, ale, ale man
Arak teruna kajuman
Skek dua telu dait delapan
Kenjekak mengupi ngraos sejeloan
Ito lai nina-nina inges
Melengku ya sawek bakes
Arak dares laguk geres
Awasang lek nae epe loek teres
Olen geran haroo wah wah
Laguk balung ene jari cigah
Teh ta gitak puntik ungkah
Ono ate kanggo ku singgah
Melemak ku oros sampan
Kon gondang dait bayan
Tekelem ku menengah lek lebuan
Melengku mauk loek aran
Tebin ku mengan lek ite
Arak pelecing keto kete
Inak melengku lek berugak dait mate
Ku demen loek ate
Baro bae ku lalo bak teben
Lek antrang batur sik mbe demen
Ndek usak beli gramen
Aok su ene sumampar pas eken
Lamun arak ngebang becat
Arak mesjid nendek nggak ngeliwat
Laun awak di ito julat
Teh ta lampaq menjumat
Bak gondang segak gopur
Ku ketoang okatnaya mengan senggapur
Selapuk sameton ndek keang pupur
Epung piran ta bau menempur
Teh mendonga lo ndekman tindok
Semoga ta menjoja ampok
Nendeq kali jerih bak ite aok
Sila banjur bak lombok
PARA MAMPIR
Maafkan aku kerap kali memberatkanmu
Dua pertiga sepersekian sarat beban
Tempuh sepuluh kaki derap kaki
Lintas lalu lalang liar aliran
Aku sarat rindu singgahmu
Pada titik nol nirlaba
Riskan rawan kaki kiri kemudimu
Ringan rancak nian kanan jemarimu
Kamu cerdik kerap menjeratku
Keluh desah kesah dengus diri biasakan
Peluh basah kerah hangus pribadi tak biasa
Aku puja hadir datangnya
Pada gelinding bulat angkasa bawah
Pada sekian kerikil aral melintang
Pada lembar kain panas membiru
Alami tiap awal senyum bergincu muda
Selami sekian denyut selembut hanyut mata
Kecupi redup bulan perlahan rebah
Demi setarik hela udara
Untuk busa busa dunia
PEDANG - PEDANG TERAPUNG
Mungkin senyum selalu sayu ranum
Awali untuk membuka raga
Akhiri untuk melepas jiwa
Kenal senjata tiada waskita
Hapal perkakas kurang pamungkas
Dia buang pedang
Pada sebidang tanah belakang
Kemudi air pantau kilaunya
Temaram purnama balik kaki
Senandung tangis buka bilik hati
Cerdik nian benam raut untuk kawan
Kidung pedang terapung
Senantiasa sempurna seluruhnya
Relung kasmaran ruang rindunya
Lajang pun kijang kesekian kalinya
Tak perlu sendu seru
Tiada butuh keluh racunmu
Dia cintai hidupnya
Senyum sipu kian bertahta saja
Larungkan saja pedangmu
Indahkan saja biar terapung
Sajak sejak senja mainkan saja
Putar kemudi tebar kendali
Biarkan kilaunya yang menjagamu
Kaulah sumber cerita
Untuk tiap generasi baharimu
Biarkan pedangmu lahirkan kembali
Kau tetap benderang
Tebasan sinarnya kan redup
Airmu kan menguapkan tajamnya
Kau selamanya terang
Dia nikmati dirinya
Mainkan saja
BAIKNYA BERLALU
Sedari jelang penjual terompah kiranya
Sedikit warta untuk namanya
Duduk bersimpuh salam pertama
Ada kabar darimana anda
Suguhan karet mengental hitam
Dengus biji dibelah dua
Perawan saatnya tiba
Bersih basah raga keluhmu
Mari berbincang setelahnya
Kami hanya punya tangan dua
Kamu pilih yang mana
Kami kelapa tua
Kamu ambil saja kelapa muda
Kami suka terapung
Kamu larungkan saja pedangmu
Kami memilihmu
Kini kembali bermimpi
Bukan sekedar harapan khayali
Siang memang ‘kan terang benderang
Untuk malam sekedar kilau alangkah indahnya
Pun rindu hati ini bukan untuk memiliki
Aku hanya ingin berbagi
Mungkin sebatas warta bersambung
Atau sekedar cerita kota tua disana
Singgahku adanya kunikmati
Hanya menjalani sekedar berlakon
Hadapi hayati nikmati kumohon
Kesementaraanku untuk selamanya
Biarkanku mengalir disini
Rebahkan pedang ini biarkan terapung
Pertama diriku sementara
Seterusnya selamanya
Kami tetap memilihmu
LARUNGKAN PEDANGMU
Merajut sedari bulan awal hujan
Merapat lembar sesak kapal selat
Menunduk mata melebarkan kepala
Membumi sejenak tempat kelapa
Kembali merapat
Sekali mendarat
Berputar dua arah pasir
Berkelebat daerah pesisir
Satu penghuni dua pribumi
Pedas mengecap berarti jalan lurus
Buru satu tuan seribu
Alangkah baiknya berlalu
Nyiur menampar pasir
Mengkudu berbuah pala
Rusak bibir senyum tersungging
Satu dua kembali satu separo
Purnama sempurna penuh
Terkembang daratan tersiar samudera
Kartolewo sekali mengecap
Bukan sekali mendapat
Belum sempat terhisap
Purnama mendatang
Udang besar siap menjelang
Awal hari mendekat
Hitam pekat kelam
Panas atap singgah merapat
Lembayung hijau putih berempah
Senja menerjang kayu berpahat
Hitam pekat kelam sekali
Hitam pekat kelam suram selamanya
TUAN ANI
Naik dahaga berbukit raga
Selempar tombak sejumput rerumputan
Selaksa ilalang sarat gerbang
Liur menjalar antara dua jembatan
Rebah raga sejenak rasa resah
Penat keringat mungkin niscaya
Usahlah merindu pada sekecap lontar
Marilah bercumbu untuk kelana
Sejengkal dua pulau tak terasa
Sekejap satu belah mata pun alamiah
Satu tambatan hati
Dua pelabuhan perantara
Tiga wana layak jejaki
Untuk segenap peluh kenikmatan
Kala segala kidung dahaga
Terasa kiranya sang putaran pasir
Mungkin terasa adanya purnama
Sekian awal bocah bulat bugil
Terhitung bukit gadis tertutup kabut malu
Kembali menanjak
Memutar kemudi kiri
Menuju gubuk bergoyang
Tempat sarang kembar madu
Hunian akrab sang peternak
Peluk merah tinju hitam
JALAN LURUS
Bermula insan bercinta
Untuk sekedar lepas cerita
Mungkin tidak hambar warta
Senantiasa pesona bayu bergaris
Tanggal pencaharian biasa
Kotak kayu berderet angka
Kurang memacu berahi raganya
Pun sederet gigi tersungging tak tepat
Kemas banda secepat hari purnama
Rebah segera roda empat tak berangin
Pintu surga asal membuka hari
Sujud sembah puja puji tuhan di bumi
Lepas ringan bibir bercinta cita
Enteng hidup nikmati persinggahan
Lakon lajang layak lenggang
Meminta seribu tiada seratus
Layak lepas lega lelaki
Wahana kotak kuat kini membumi rapat
Resah rusuh rasa rasio nelangsa
Pun tiada tanda suka cita
Warta kini tiba paku buwana
Sua suasana pada hamengku
Mentari tak terputus dua putaran
Kaki menderap air menyerap harum
Nyawa beterbangan menyisir garis
Kembali wangi dupa menebak rupa
Sekedar minum air keadaan
Tali kekang lekat ikat kepala
Tapak tapak tak bergeser utara
Renyah resah reda
Kunyah kedap kelapa
Bumi bima biasa
Lurus lurus lurus letusan lurus
SINGGALAJU
Kecap nikmat nuansa sri cempaka bernas
Genap tuntas satu putaran kertas
Balik kemudi pada telur di ujung tanduk kuning
Merebah harap cinta sri paduka bumi
Dua tarik hari segera berlari
Sejawat seatap segar menanti paku buwana
Reguk teguk segenap lestari hamengku alam
Sebelum waktu rubuh terik ketujuh lekas bergegas
Putaran berat besi menggelinding mengaduh
Hampar pematang gersang rimba timur dwipa
Serang sebrang segera atau hengkang bendera
Duhai dewata kemana harum dupamu kini
KARTOLEWO
Dia beranjak dari mimpinya
Berlari terus tekan tapak kaki
Toh perjalanan tiada henti menanti
Sederet tanya jawab ada disana
Dia meluruhkan raganya
Demi selaksa ilmu jawa dwipa
Untuk segenap nyata dunia
Karena hidup berilmu di perjalanan
Dia memiliki kehilangan
Pada sebuah keluh racunnya
Akan cinta ragawi sang rinjani
Lewat peka rasa inderawinya
Semesta jagad terteguk sekejap
Enteng hidup dalam eja wantah
Sekian banda tiada bertuah
Deret ukur sangkar madu tak berbuah
Kotak kayu berkaki tak terjangkau
Pesona indah suasana negeri terlewatkan
Hal ihwal tanpa terkejar pudar
Lembar lontar hendak dia kuliti
Membuka segar kedap suara
Membelah air redup nirlelah
Mengiris bekas sayat bilik hati
Rona rupa raut topeng khayali
Asa tak bersua pada pekanya
Menemupadankan kebendaan keniscayaan
Candra kirana dewi nirwana lelah upahnya
Larungkan pedang pamungkas waskita
Biarkan burung azali lirih berjali
Ambilkan kelapa muda untuk sekedar
Jalan lurus tujuan kesekian kali
Harum dupa keseharian tak mampu alihkan
Tiga gugusan layak perjalanan
Kaki kini kerap menagih janji
Dia dan mimpi pun akrab kembali