Yahoo Messenger

Jumat, September 11, 2009

Colour Player & Irfan Fadhili

Pengantar blog dibawah yang berupa 3 buah tulisan lebih berfungsi hanya sebagai pembuka cakrawala dan sekedar penghantar dari sekian tulisan dalam wadah Colour Player ini. Mohon berkenan saya perkenalkan, satu sosok yang musykil, individu nan peka-egosentris, lelaki yang terkesan ganjil meski berkepribadian liat stabil.
Detail tulisan berikut tentu akan penulis perlengkap dan perjelas melalui tulisan-tulisan didalam media blog ini. Silakan simak perlahan, buka dialog, mohon tanggap bebas secara cerdas dan mari bahas secara lugas.

Colour Player..
Wadah blog pribadi semi-privasi ini sengaja penulis tumbuhkembangkan dengan sebuah nama Colour Player, sebuah citra persona. Dalam artian citra, untuk sekadar menunjukkan berbagai gambaran satu pribadi beserta hasil olah pikir dan olah gerak tangan yang menuntunnya dalam bentuk pelbagai tulisan yang berupa (lebih tepatnya yang berusaha menyerupai) esai, tulisan-tulisan dalam ranah psikolinguistik serta sedikit cerita warta perjalanan arung wisata sang penulis sendiri. Hal-hal tersebut nanti tertulis secara pribadi-mandiri, karya sendiri tanpa urun tangan pihak lain, eigen haard veel waard (dapur sendiri sangatlah berharga). Demikian halnya dengan persona (menilik ibu bahasa yang bisa diartikan sebagai topeng) untuk keberadaan Colour Player (seterusnya dipergunakan untuk pengganti nama penulis), yang dapat saya panjanglebarkan sebagai berikut:
“Sebuah kondisi ketika satu pribadi menggerakkan hati dan olah pikirnya untuk senantiasa melihat berbagai kemungkinan, menangkap satu dua kejadian dengan berbagai sudut pandang sekaligus menggoreskannya sebagai satu rujukan keberpihakan pada kehidupan yang beraneka, bukan hanya arahan yang berbentuk saran anjuran pada satu sisi permasalahan. Laksana kucuran tinta berwarna pada satu media tiga dimensi, ia membentuk berbagai butiran senada pada satu sisi dan sekaligus bercampur baur dengan berbagai kemungkinan gumpalan warna tak sejenis pada sisi satunya. Ia larut dan menikmati aneka peran hidupnya dalam kurun waktu tertentu. Lakon ini terkesan liar, penuh gejolak kebutuhan berbagi peran dan haus akan realitas sekelilingnya. Pribadi yang merasa lebih pendengar meski tak ragu melaju di garda depan sendirian, mandiri dalam kesederhanaan namun peka secara positif pada berbagai keadaan. Ia butuh membentuk dunia yang berwarna nan serasi. Ia ingin bermain dengan ilmu didasarnya, berharta dengan ilmu menjaganya, bekerja dengan awal tangan diatasnya, dan mampu melihat beragam tanya pada satu kejadian. Seterusnya menuntun akal hati secara berurutan dan sinergis agar makna kemanusiaan tak sebatas perilaku kebebasan semu menggelikan, perilaku yang bebas-liar namun semakin dangkal. Bermain warna penuh sekaligus memberi arti sebuah kehidupan.”

Irfan Fadhili..
Segala tema besar dan luhur selalu menarik hatinya
Sekaligus justru ia polos menggumam naif
Layaknya anak kecil ketika balon hijaunya meletus
Hal ihwal besar mampu ia perpanjang lebar
Tanpa kelihatan mengumbar petuah tak bertuan
Ia mengalir jujur lugas nan bernas
Ia mampu dengan cepat mengambil keputusan kecil
Meski demikian akan terlihat nampak bagi orang terdekat
Ia tenang dan hati-hati dalam pertimbangan yang besar
Ia menyimak dengan cermat
Diam kaku cenderung menunggu
Lalu bergerak teratur untuk satu peristiwa yang menggugah kepekaannya
Pada satu kejadian justru berbagai kondisi akan dimunculkan olehnya
Ia peka pada kenikmatan lima inderawi
Yang melengkapi satu kepuasan batin yang manusiawi
Ia menikmati kelembutan nada sekaligus kekakuan komposisi swing
Gelap baginya hanya kurang cahaya
Sebagai media yang mampu ia lukis cetakkan
Ia lihai, lugas dan terlihat sangat bugar
Untuk terlibat pada tiap hiruk pikuk permainan olahraga bola
Ia rutin menggiring bola ke segala arah sasaran
Ia peka mengamati lemparan bola basket
Ia dapat menyimak arah perpindahan bola voli
Ia mampu mendengar kerasnya lapangan liat tenis
Ia cepat melirik terbang jatuhnya bola golf
Ia tentu tak awam oleh jenis olah bola lainnya
Ia memahami perubahan waktu
Dengan mencoret tiap arah berfikir
Lalu menggoreskannya di kertas bekas satu sisi
Ia mampu membawa kawan dan lawan berbicara
Ia pun mendengar terhadap kesan-kesannya
Gaya bicaranya terlalu hidup untuk dianggap tergesa-gesa
Meski ia membuktikan bahwa kesan-kesannya itu tahan lama
Bahkan memesonakan bagi telinga yang terdekat
Ia tulus hati untuknya yang terjauh
Ia senantiasa jujur untuk dirinya
Terutama dimana kejujuran menjadi peredam rancunya logika
Ia mampu nyaman pada sekian kondisi yang ada di depan mata
Dan sekian jarak akan dipijak kakinya
Ia selalu ramah terhadap tamu-tamunya
Dan menjadikan mereka segala orang yang menderita
Untuk kemudian bersamanya layak berbahagia
Ia peka terhadap cinta dan kesetiaan
Untuk asmara Arjuna dengan Sembadra
Pada lakon Pronocitro bersama Roro Mendut
Kepada romansa Qais dan sang Laila
Persembahan karya Timur Lenk untuk Khanoum
Keagungan cinta Syah Jehan pada Arjumand Banu
Ia mengaku bodoh untuk pesona perempuan yang mengumbar di dekatnya
Namun untuk perempuan yang nun jauh di luar jangkauan
Mampu ia tarik kembali untuk menengadah harap
Ia dengan mudah sanggup membagi rona kasmaran pada sekian perempuan
Ia hanya ingin menebar terus benih pesona
Memuja muji harum wanita tanpa harus tertarik memetik sari putiknya
Ia niatkan menjaring segala cinta
Menebar wanginya pada sekian wanita
Ia terlahir untuk tak terpahamkan kawan sekitar
Ia mentakdirkan diri untuk memahami lawan dan lingkungan
Kelak hanya yang satu mampu ia pahamkan
Ia mengaku lemah dalam hal-hal yang kecil
Meski tetap mengindahkan pesona arti indah hal ihwal yang kecil
Ia rendah hati sekaligus lugas keras
Riskan bagi orang yang melawannya
Ia tidak mengenal kata selesai dengan Tuhan
Ia hanya bisa menangis diam
Merintih sepi mengaduh lirih
Hanya untuk menarik minat kecilnya akan makhluk kecil ini
Ia mengikhlaskan waktunya berdetak
Ridha hidupnya diam serentak bersama ibunda tercinta


Psycholinguistic, Essay And His Odyssey
Psycholinguistic..
Psikolinguistik menjadi bahan awal ketertarikan penulis dalam menuangkan isi pikiran dan perasaan melalui media tertulis. Penulis ingin mengembangkan satu kemampuan mendasar mengenai kemampuan untuk menemukenali seluk beluk kemunculan suatu tata bahasa. Psikolinguistik termasuk cabang dari psikologi kognitif sehingga tidak terlalu awam bagi penulis yang mempunyai latar belakang psikologi meski hanya paham ihwal yang sedikit, kasar dan yang mendasar. Ditambah pengertian awal yang diberikan oleh Henry Guntur Tarigan, bahwa psikolinguistik merupakan importasi linguistik kedalam psikologi, dan bukan sebaliknya importasi ilmu psikologi kedalam linguistik, semakin mempermantab kebutuhan penulis untuk semakin mempelajarinya. Robert Lado, bahkan mengemukakan bahwa psikolinguistik, berupa pendekatan gabungan melalui psikologi dan linguistik bagi telaah atau studi pengetahuan bahasa, bahasa dalam pemakaian, perubahan bahasa, dan hal-hal yang ada kaitannya dengan itu yang tidak begitu mudah tercapai atau didekati melalui salah satu dari kedua ilmu tersebut secara terpisah/sendiri-sendiri. Ihwal definisi-definisi diatas semakin menarik ketika Emmon Bach, menjelaskan bahwa psikolinguistik adalah suatu ilmu yang meneliti bagaimana sebenarnya para pembicara/pemakai suatu bahasa membentuk/membangun atau mengerti kalimat-kalimat bahasa tersebut.

Untuk memberikan sedikit gambaran mengenai ihwal psikolinguistik, berikut definisi-definisi dari Wikipedia. Psikolinguistik adalah penggabungan antara dua kata 'psikologi' dan 'linguistik'. Psikolinguistik mempelajari faktor-faktor psikologis dan neurobiologis yang memungkinkan manusia mendapatkan, menggunakan, dan memahami bahasa. Penelitian modern menggunakan biologi, neurologi, ilmu kognitif, dan teori informasi untuk mempelajari cara otak memroses bahasa. Psikolinguistik meliputi proses kognitif yang bisa menghasilkan kalimat yang mempunyai arti dan benar secara tata bahasa dari perbendaharaan kata dan struktur tata bahasa, termasuk juga proses yang membuat bisa dipahaminya ungkapan, kata, tulisan, dan sebagainya. Psikolinguistik bersifat interdisipliner dan dipelajari oleh ahli dalam berbagai bidang, seperti psikologi, ilmu kognitif, dan linguistik. Psikolinguistik adalah perilaku berbahasa yang disebabkan oleh interaksinya dengan cara berpikir manusia. Ilmu ini meneliti tentang perolehan, produksi dan pemahaman terhadap bahasa.
Subdivisi psikolinguistik, yang didasarkan pada komponen-komponen yang membentuk bahasa, antara lain: Fonetik dan fonologi mempelajari bunyi ucapan. Di dalam psikolinguistik, penelitian terfokus pada bagaimana otak memproses dan memahami bunyi-bunyi ini. Morfologi mempelajari struktur kalimat, terutama hubungan antara kata yang berhubungan dan pembentukan kata-kata berdasarkan pada aturan-aturan. Sintaksis mempelajari pola-pola yang menentukan bagaimana kata-kata dikombinasikan bersama membentuk kalimat. Semantik berhubungan dengan makna dari kata atau kalimat. Bila sintaks berhubungan dengan struktur formal dari kalimat, semantik berhubungan dengan makna aktual dari kalimat. Pragmatik berhubungan dengan peran konteks dalam penginterpretasian makna. Studi tentang cara mengenali dan membaca kata meneliti proses yang tercakup dalam perolehan informasi ortografik, morfologis, fonologis, dan semantik dari pola-pola dalam tulisan.

Essay..
Esai, dimaksudkan sebagai semacam komentar, tapi juga semacam gumaman, seperti kalau kita berbicara sendiri atau mencoret-coretkan kalimat diatas kertas kosong ditengah suara orang ramai. Esai dan non fiksi ini sengaja dikumpulkan untuk konsumsi non-spesialis, dengan isi, gaya dan citra yang santai, mungkin garing, sebisa mungkin menghindari kesan akademik. Satu sisi dengan beberapa kemungkinan menyertainya. Colour Player menikmati berdialog dengan siapa saja: buruh bangunan, pedagang mainan asongan, penjual bakso, juragan barang loak, mandor proyek, fotografer amatir-partikelir dan tentu dengan diri-egonya sendiri. Ia terdengar paling nyaman kalau sedang berada di tengah-tengah wong cilik awam, orang kebanyakan. Ia justru ingin menempatkan dirinya seperti seorang karakter minor pada dialog Plato. Hmm, ia hanya seseorang dengan lakon sang Kephalos atau Ekhekrates, yang hanya sesekali menyeletuk, memancing orang-orang di sekitarnya untuk terus berbla-bla-bla menjadi Sokrates-sokrates kecil. Syahdan, dalam suasana yang lebih formal, ia menjadi lebih introspektif, kian kontemplatif bahkan cenderung murung. Nuansa lumrah ketika tiba-tiba ia bisa mengganti kata ganti personalnya dari “saya” menjadi “aku”. Seakan-akan dia tiba-tiba perlu menyepi sendiri di tengah-tengah keramaian. Baginya keramaian adalah tembok amat kukuh bagi celah-celah ilmu pengetahuan dan kedalaman. Justru suasana sepi nan ramai inilah yang memberinya kemampuan awal untuk menganalisa sekelilingnya dengan jernih dan bernas. Membaca dan banyak membaca untuk terus membaca mungkin salah satu kunci menjadi Colour Player. Mengisi terus kucuran bensin otak. Colour Player, sebagai suatu catatan tambahan, seringkali terdapat nama pengarang atau nama judul buku yang dikutip oleh penulis. Ia tanpa sengaja bahkan terus asyik menambal sulam satu ide dan berbagai mini kalimat yang tersedia. Dalam lalu lintas ide dan peristiwa-peristiwa, hal itu disengaja, sekadar untuk memancing minat para pembaca untuk menjejaki pikiran yang tersirat didalamnya lebih lanjut. Untuk itulah, satu daftar kepustakaan disertakan di bagian akhir. Sekaligus hal itu untuk jadi tanda pengakuan si penulis, bahwa ia tidak berhak mengklaim orisinalitas pikiran siapapun, ataupun sifat eksklusif dari bahan. Kumpulan tulisan dalam Colour Player berusaha menjadi semacam senandung yang tidak hanya menyimpulkan sikap personalnya menghadapi pilihan-pilihan susah di sekelilingnya, tapi juga membuka kemungkinan bagi alternatif lain –yang barangkali bisa ditemukan dengan mendalami pilihan-pilihan yang ada. Colour Player bukan anti perubahan –namun ia tak punya resep atau cara langsung untuk mengubah masyarakat. Disitulah ia mungkin berada dalam posisi ambivalen –antara ya dan tidak. Idealisme tanpa pijakan realitas menjadikan orang pemimpi dan sekaligus pembohong. Sedang realisme tanpa nilai-nilai ideal akan menjadikan orang hidup tanpa martabat. Skeptisme sebagai cara untuk mencari kebenaran memang mempunyai tempat dalam khasanah pemikiran filsafat. Ia merelatifikasikan segala macam kebenaran yang sempat terumuskan. Suatu rumus, kecuali bisa mengungkap kebenaran juga berkecenderungan memenjarakan kebenaran baru yang mungkin tercipta. Sikap skeptis memberi ruang untuk tidak terjebak dalam dogmatisme atau fanatisme terhadap suatu sikap. Dan Colour Player akan terus bekerja dengan pertanyaan-pertanyaan. Ia mungkin tidak hanya berpikir mengubah keadaan, tetapi juga praktek serta arah perubahan yang bakal terjadi. Ia tetap seorang yang bimbang dengan apa yang ada. Seorang yang tak habis-habisnya mengunyah pertanyaan. Di satu pihak ia tidak kehilangan yang ideal, di pihak lain ia bisa memenuhi batasan-batasan yang ditentukan keadaan. Ia tidak jatuh pada sikap pasrah atau sinisme. Ia bergerak di dataran ide-ide. Menyimak seluruh rangkaian Colour Player di wadah blog ini, agaknya pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana menumbuhkan dengan sabar keadaan yang lebih dalam –entah untuk menerima atau menolak keadaan. Perubahan tidak hanya terjadi ketika orang menolak. Pun penolakan tidak selalu harus melahirkan sesuatu yang baru. Adakalanya sebuah penerimaan juga tidak bisa hanya diartikan sebagai langkah pengukuhan status quo. Penolakan terhadap sebagian hal yang dianggap “buruk” ditambah penerimaan sebagian hal yang dianggap “baik”, juga tidak segera menyelesaikan soal. Bahwa apa yang dianggap “buruk” dan “baik”, itulah yang justru harus dipersoalkan secara lebih mendalam. Namun pemikiran skeptis memang tak jarang menjengkelkan orang, karena ia jauh dari kepentingan praktis kebanyakan orang. Dalam usahanya menanggapi dilema tersebut –yang mungkin sebagian sudah menjadi kegiatan rutin– ia pun menulis. Dari seluruh nada renungan dan penyampaiannya, ia secara implisit hendak menjelaskan bahwa sikap-sikap skeptisnya tidak dikukuhinya sebagai suatu sistem yang kaku –tetapi sebagai cara yang terbuka untuk mencari pengertian baru yang lebih lengkap tentang kenyataan hidup sehari-hari. Semoga.
Ia tanpa sengaja bahkan terus asyik menambal sulam satu ide dan berbagai mini kalimat yang tersedia. Dalam hubungan itu, ia banyak memanfaatkan tamsil awam, pengibaratan, ihwal perumpamaan, cerita lakon sejarah, riwayat para tokoh semenjana maupun legendaris, kutipan renungan dan ritus keagamaan, serta menimba inspirasi dari berbagai literatur –meski jauh dari pretensi untuk membuat suatu karya ilmiah nan pelik: kumpulan karangan ini pula tidak dimaksudkan apalagi sebagai semacam kumpulan kuliah beraksara rumit. Sambil menawarkan pertanyaan-pertanyaan yang syukur bisa merangsang perluasan cakrawala pandangan yang ada. Dan lepas dari hasil akhir yang dicapainya dalam pencarian itu –apakah kita menyetujuinya atau tidak- pertanyaan- pertanyaan yang dirasa perlu telah dikemukakan. Colour Player tidak memberi petunjuk apapun –bahkan tidak mengambil sikap tegas terhadap pilihan-pilihan susah di sekelilingnya. Ketegasan bukanlah bahasa Colour Player. Disini sebagian orang –sekali lagi- boleh kecewa dan memendam rasa jengah.

His Odyssey..
Secara harfiah, kata Odyssey bermuka dua dengan kata Adventure, Backpacker, Journey, Long Road, Pilgrimage, Rovers, Tracking, Transit Longer, Trip, dan lain kata sejenis. Semuanya memberikan satu gambaran awal sebuah perjalanan, fisik dan batiniah. Penulis berusaha memberikan gambaran lanjutan lainnya yang pernah teralami dan hendak berbagi. Penulis menikmati tiap perjalanan lahiriah, dari dan menuju, singgah kemudian laju kembali. Ia tenang menjajaki tiap kesempatan dalam posisinya sebagai sang peziarah. Berlalu pergi dengan satu tujuan untuk kemudian kembali pulang ke asal. Ia justru menangisi lakon perjalanan insan sebagai seorang pengelana yang tak bertujuan, banyak arah sasaran lupa akhir perjalanan. Ia menikmati petualangan ulang-alik yang serius dan yang remeh murah. Ia butuh berdialog dengan perjalanannya. Umar Kayam dalam buku “Dialog”, kitsch adalah seni hiburan yang popular dan biasanya komersil. Kitsch mempunyai ciri gampang dimengerti, gampang dikunyah, tidak menuntut partisipasi yang jauh dari penggemarnya, tidak menuntut pemikiran yang mendalam dari audience dan selalu siap sedia untuk disantap langsung dan segera. Kitsch adalah produk masyarakat yang bergerak dari statusnya yang feodal-agraris menuju ke status masyarakat kota yang modern, demokratis dan komersiil. Umar Kayam dengan gamblang mampu menjelaskan bahwa lelucon, “logika bengkok” katanya, merupakan katarsis buat sumpeknya hidup, mempertimbangkan kemungkinan kekonyolan dan kebodohan kita ... untuk justru menormalkan kehidupan kita. Kesusastraan, konon, mengajar kita untuk selalu mempertimbangkan kemungkinan yang banyak dari kemampuan manusia. Ketiganya –perjalanan, kesusastraan, lelucon plus lawakan, selalu kita butuhkan sebagai pengalihan perhatian. Rutin kehidupan kadang-kadang membuat kita menjadi bagian dari satu jam besar yang begitu rumit sekrup-sekrupnya. Rutin kehidupan juga kadang-kadang membuat kita merasa menjadi bagian dari barisan panjang yang berbaris di satu tempat saja. Ketiganya memberi tahu juga bahwa di sela-sela yang rutin itu banyak pilihan dan alternatif, bahwa yang rutin itu tidak usah selalu membosankan. Colour Player sebagai media penyampaian refleksi diri semoga dapat memenuhi salah satu aspek kebutuhan tiap personal untuk memikirkan kembali, dalam suasana yang lebih tenang, peristiwa yang dialami sehari-hari. Suasana reflektif ini merupakan kebutuhan spiritual yang semakin hari semakin meningkat, sepadan dengan perkembangan masyarakat yang semakin disibukkan oleh bermacam kegiatan rutin. Suasana keletihan mental menghadapi rutin inilah yang mungkin akan menempatkan renungan-renungan Colour Player dalam kedudukan sebagai salah satu pemenuhan yang relevan dengan berpikir ulang, mencari persektif, dengan mempertanyakan kembali pemikiran-pemikiran yang ada, diharapkan kesadaran yang baru dapat ditumbuhkan dan visi kehidupan dapat disegarkan. Semoga.

Tidak ada komentar: