Dear Kauasmaranku,
Teriring setiap ketetapan hati dan olah pikir yang jernih untukmu, semoga kamu dalam keadaan sehat, selalu senang dan senyum senantiasa, amiin. Bermula dari rasa kangen dan segenap kebutuhan akan sedikit romansa pada khususnya, aku berniat untuk meluapkan sejengkal kegundahan hati, olah rasa dan cerna jiwa yang mendesak untuk dihambur lepaskan. Untukmu, Kauasmaranku tentunya..
08.00 WIB, kamar dalam pencahayaan gelap temaram, posisi rangka tubuh yang searah swastika dengan lipatan kasur busa, lembaran A4 kosong terang, pintu dan lembar jendela masih malu menerima tamu dan menutup dari dan menutup dari lemparan cahaya sang fajar, aku mulai mengguratkan segenap kekuatan hati melalui setiap hentakan lima jari. Untuk Kauasmaranku tentunya..
Tak terpikir untuk menunda isi cerita. Tak terungkap rencana yang matang. Aku mengalir, memberikan tetesan-tetesan tinta, meliuk liukkan ujung besi, membiarkan lembarnya terisi penuh, masih mengalir. Untukmu Kauasmaranku intinya..
Syahdan, lembaran kisah bermula dari kelas pertama ketika kita duduk satu generasi dalam jenjang pencarian di kota kecil kebanggaan kita. Aku mengalir. Untukmu Kauasmaranku, untukmu..
Awal mula aku memasuki gerbang sekolah, seperti biasa anak kampung mendengus luapan keramaian satelit kota. Aku berlima teman sedesa dengan rasa penasaran yang sama terpisahkan sekat-sekat perbedaan kelas. Mmh, aku masuk kelas 1A. Tidak ada sentuhan langsung dengan kaum hawa. Belum ada kebutuhan utama akan keberadaan seorang insan jelita. Nun jauh disana, terkumpul anak-anak istimewa dalam satu gelaran sebuah keunggulan kelas, tentu hanya berisi kumpulan anak-anak cerdas. Kamu berada diantara mereka. Tersimpan jarak yang jauh, tak tersentuh tepatnya antara kelas-kelas dikumpulan belakang dengan hal ekslusivitas kelas tersebut. Aku berada diantara rumput-rumput kecil yang lelah menengadah ke tembok-tembok pembatas yang berdiri kokoh menjulang menutupi jangkauan. Kau putri sang kepala sekolah, kau pun putri sang pembesar di desa terkaya. Kau tak terjamah. Pun kamu tak mudah disentuh penuh. Aku mungkin kurcaci kecil yang melihat sosokmu. Kamu mungkin putri yang hidup di abad renaissance. Hidup tercukupi di menara gading yang menjulang.
Hmm, parodi kehidupan pertama yang kudapatkan di bangku sekolah. Aku sadar dan segera bersandar, jelas aku hanya cuma bisa merayap di luar jangkauanmu. Kamu semakin membatu kukuh. Tidak banyak kesempatan. Jarang ada peluang. Welcome to the real world, untukmu aku bermimpi. Khayalan yang runyam, riskan..
Sejak engkau bertemu insan bermata lembut
Ada yang tersentak dari dalam dadamu
Kau menyendiri duduk dalam gelap
Bersenandung nyanyian kasmaran
Dan tersenyum entah untuk siapa
Namun engkau sedang berkhayal
Kepahatlah langit dengan angan
Kau ukir malam dengan bayang-bayang
Janganlah engkau simpan dalam duduk
Malam kau sapa lewat tanpa nyawa
Bersikaplah jujur dan terbuka
Tumpahkanlah perasaan yang sarat
Dengan cinta yang panas bergelora
Barangkali takdir telah berbicara
Ia diperuntukkan buatmu
Dan pandangan matanya memang buatmu
Mengapa harus sembunyi dari kenyataan
Cinta kasih sejati kadang datang tak terduga
Bergegaslah bangun dan bermimpi
Atau engkau akan kehilangan keindahan
Yang tengah engkau genggam
Anggap saja takdir telah berbicara
Ia datang dari langit buatmu
Dan pandangan matanya khusus buatmu
(Kali pertama menulis satu surat pribadi untuk satu pujaan justru ketika media itu telah kian langka berganti pesan pendek dan kiriman kawat elektronik. Untuk sang penadah hati, padanya lembaran cerita di awal surat dan sebagai penutup tarikan kuas khas Ebiet G. Ade dikirimkan sekaligus. Sebuah awal perkenalan di dunia hampa logika dan raja rasa. Indah, menggugah, namun riskan dan runyam sekaligus).
Jumat, September 11, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
gak ngerti baikx berlalu, sara su sita knca duh perempuan.
uuuh dr td kok susah bgt sih di coment...
Baiknya Berlalu, momen ketika keputusan logis harus dikedepankan dibandingkan kenyamanan secara psikologis. Hmm, untuk kebaikan saya secara pribadi dan tentu lebih umumnya kenyamanan orang-orang tercinta dan terdekat saya..
Sara Su Sita, nah ini keseharian saya di di kampung tercinta. Kampung Bangsal Ketapang, masuk dusun Karang Amor, desa Gondang, kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara. Menikmati hidangan kopi setiap usai bangun tidur, makan siang, menjelang terbenam matahari dan tentu ketika malam hari diselingi obrolan kaum pantai suku Bugis-Sasak. Mengikuti iringan perahu di tengah laut nan maha luas, mengambil ikan (bukan mencari ikan, kata para nelayan), menyajikan ketika kita berbuka dan tentu untuk menu sahur (pertengahan Juli hingga bulan Agustus, puasa Ramadhan tiga minggu saya habiskan ditengah-tengah mereka).. Dan seabgrek kegiatan lain bersama penghuni komunitas terbatas (kampung ini dihuni sekitar 15 rumah persis dipinggir pantai).
Duh, Perempuan..
Hmm, sepenggal cerita biasa anak muda yang baru tersentuh isi hati dan nalar dewasanya. Cerita maklum, sangat sangat biasa. Wajar. Hanya menambah memori kelak di kemudian hari.
Posting Komentar