Yahoo Messenger

Jumat, Oktober 09, 2009

Hendrikx & The Guitar: A Destiny





The story of life is quicker than the wink of an eye
The story of love is hello and goodbye,
Until we meet again..


Ia gitaris, vokalis sekaligus penulis lagu.
Ia terlahir di Seattle, 27 November 1942.
Ia mendalami zona gitar khas rhythm & blues.
Ia terinspirasi Muddy Waters.
Ia mengawali karir sebagai penerjun militer.
Ia gitaris bernama awal Jimi James pada 1961-1966.
Ia membentuk Famous Flames di New York bersama James Brown.
Ia menjajaki manggung di café Wha! di Greenwich Village, New York.
Ia dipoles Charles “Chas” Chandler dari band Animals (Inggris).
Ia memotori Jimi Hendrix Experiences bersama Mitch Mitchell dan Noel Redding (Inggris).
Ia mencipta nomor keren Trio Experiences: Hey Joe, Purple Haze, dan Wind Cries Mary.
Ia membawa The Experiences beraksi di festival Olympia, Paris 1966.
Ia bersama The Experiences diundang ke Monterrey Pop Festival (1967).
Ia dan The Experiences menjadi band pendamping band The Monkees dari Amerika.
Ia terbiasa dengan suara musik hyperamplified, lirik tanpa basa-basi dan aksi membakar gitar!
Ia berbusana rompi berbordir bunga/geometris, ikat kepala ciri khasnya.
Ia rutin berkemeja ruffle berkerah lebar, kalung manik-manik dan jins belel.
Ia berpenampilan jaket beludru, jubah berumbai, sampai sepatu koboi.
Ia mendapat gelar “Artist Of The Year 1968” dari Billboard.
Ia membuat album “Are You Experienced?, Electric Ladyland, Axis: Bold As Love (1969) meraih platinum.
Ia kembali menggondol platinum untuk album Smash Hits (1970).
Ia dengan Buddy Miles dan Billy Cox dalam album live “Band Of Gypsys” (1970) mendapat cakram emas.
Ia diundang ke Woodstock 1969, summer festival tersukses sepanjang sejarah music rock.
Ia tampil bersama Janis Japlin, Joan Baez, Santana, The Who serta kwartet Crosby, Stills, Nash & Young. 
Ia adalah The Greatest Woodstock 1969.
Ia tertangkap di Toronto, tahun 1969 karena kepemilikan heroin.
Ia tewas di London, September 1970.


Hey Joe, I heard you shot your woman down
You shot her down now
Hey Joe, I heard you shot your old lady down
You shot her down in the ground
Hey Joe, said now, where you gonna run to now
Where you gonna run to?
Hey Joe, I said, where you gonna run to now
Where you, where you gonna go?
(I’m goin way down south, way down where I can be free.
Ain’t no one gonna find me! Ain’t no hang man gonna.
He ain’t gonna put a rape around me!)
You better belove it right now!
(I gotta go now!)
Hey, hey, hey, Joe.
You better run on down!
Hey, hey Joe, what’d I say
Run on down!
(Sumber: 30 Years Of Peace & Music, majalah Hai, edisi September 1999.)




(2 buah hasil karya penulis diatas dalam bidang fotografi, pernah di-publish dalam satu pameran fotografi pada tanggal 27 April – 01 Mei 2004, bertempat di selasar Gedung Fakultas Ekonomi, kampus Universitas Persada Indonesia – Yayasan Administrasi Indonesia (UPI-YAI) di Salemba – Jakarta Pusat. Pameran fotografi yang diselenggarakan oleh Angkatan V Tripot Photography dan berjudul “STEP FORWARD”. Penulis menempatkan 2 buah foto black & white pada pameran ini, portraiture photo yang berjudulHendrikx & The Guitar: A Destiny” dan human interest photography yang berjudul “Akh!! Rejeki Tak Lari Kemana”).

Jumat, Oktober 02, 2009

Karya Wan






Akh!! Rejeki Tak Lari Kemana..

(Ketika kaum urban bergerak massif menuju ibukota, terdapat sinergi positif dan sekaligus ekses negatif dalam keterkaitan antara keberadaan urbanisasi dengan pergerakan agresif modernisasi sebuah ibukota. Melimpah ruahnya tenaga kerja murah dan siap pakai, roda ekonomi semakin berputar aktif dan menggejala yang membuat pergeseran modal ke segala sektor massa maupun dilihat dari makro ekonomi. Meskipun demikian, jumlah besar calon pekerja tak berbanding lurus dengan ruang yang tersedia untuk manusia bekerja. Peluang semakin menyempit dan menuntut spesialisasi tiap pekerja produktif, sedangkan angka besar kaum urban justru pada tenaga kasar dan minim pendidikan. Terciptalah gelombang pemuatan pangsa tenaga kerja pada sector non formal, antara lain ojek sepeda di kawasan kota tua Jakarta, tepatnya di jantung museum Fathillah. Berbekal tenaga otot dan kemauan keras untuk bertahan hidup di kota Jakarta, mereka berduyun-duyun bekerja apa saja, dimana saja dan kapanpun siap mengais rejeki. Toh, tak selalu waktu harus dikejar terus menerus, spartan hingga harus forsir tenaga fisik. Beri ruang istirahat sejenak, sekedar menghela nafas untuk kembali bergegas siap mengayuh sepeda ontel tua.. Mereka tetap butuh ruang privasi meski cuma menyisakan tempat dengan bertepi kali di tengah reriuhan gerakan manusia disekelilingnya).
”Hari ini telah sekian rupiah kudapatkan, gerak badan ini kembali melemah payah. Cuacapun menuntut cepat, meski esok ‘kan datang lagi. Hendak kurebahkan raga ini sejenak. Akh!! rejeki tak lari kemana...”